
Jaya Hindu - Tiga pemuda terlihat sibuk memotong bambu, sedangkan dua orang lain menghias ogoh-ogoh di sebuah dusun yang dilengkapi dengan tempat persembayangan umat Hindu.
Mereka bercakap-cakap dengan bahasa Bali. Aksen mereka pun
sangat kental seperti penduduk Pulau Dewata.
Mereka adalah warga Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman,
Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Saat ini, sebagian warga
di sana tengah disibukkan dengan membuat ogoh-ogoh untuk perayaan hari raya
Nyepi pada Rabu (9/3/2016) pekan depan.
“Di sini bahasa ibunya adalah bahasa Bali, tapi kami semua
bisa menggunakan bahasa Jawa, bahasa Madura, bahkan bahasa Using yang asli
Banyuwangi,” kata tetua dusun I Gusti Putu Sudana kepada Kompas.com, Rabu
(2/3/2016).
Bukan hanya bahasa, semua tatanan rumah, adat, budaya yang
digunakan di desa tersebut menyerupai yang ada di Bali. Lelaki kelahiran 20 Februari 1963 tersebut menuturkan bahwa
warga dusun Patoman berasal dari delapan kota atau kabupaten di Pulau Bali. Pada tahun 1950-an, banyak warga Bali yang pindah ke
Banyuwangi karena tradisi keselong atau pengasingan karena menikah dengan kasta
berbeda.
“Ini dulu ya saya dapat cerita dari orang-orang tua. Kita
mengenal empat kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Karena
menikah tidak satu kasta, maka mereka diasingkan dan berpindah ke Banyuwangi,”
ujarnya.
Mereka kemudian membentuk kampung Bali di tengah Kota
Banyuwangi. Karena jumlah mereka semakin banyak, sebagian di antaranya mencari
tanah yang lebih luas di sekitar kota. Salah satunya adalah Dusun Patoman
Tengah, Desa Patoman.
Mereka kemudian menata kampung persis dengan tatanan leluhur
mereka di Pulau Dewata, termasuk penataan tempat persembayangan. Kampung itu
juga memiliki kayangan tigo yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura
Dalam seperti di Bali.
“Kami juga mengadakan Ngaben setiap 4 tahun sekali termasuk
juga upacara upacara adat lain. Termasuk juga susunan pemerintahan mulai dari
parisada, klian adat serta pemangku,” kata Sudana.
Saat ini, satu kampung di Patoman Tengah memiliki 230 kepala
keluarga. Sebagian penduduk itu bekerja di Bali. Namun, saat peringatan hari
raya keagamaan, mereka memilih pulang ke Banyuwangi.
“Seperti saya masih ada keluarga di Bali, masih sering
komunikasi, tapi kalau hari raya ya di sini saja,” kata Sudana. Saat ini tradisi keselong sudah mulai jarang dilakukan.
Sudah ada empat generasi yang tinggal di Dusun Patoman Tengah dan penduduk pun
berbaur dengan warga setempat. “Istri saya orang sini saja,” kata Sudana sambil
tertawa. Ia menjelaskan, selama ini masyarakat dusun tinggal dengan
tenang berdampingan dengan masyarakat sekitar. Toleransi antargolongan
masyarakat tercipta di tengah keberagaman asal-usul maupun kepercayaan mereka.
Penduduk di sana sudah terbiasa saling mengunjungi warga
yang tengah merayakan hari raya keagamaan berbeda.
Ketika Nyepi, masyarakat yang tidak merayakannya turut
menghormati penduduk yang merayakannya. Pada saat itu, tidak ada keramaian
ataupun warga yang memutar musik. Jika ada yang melintas di jalan dusun, mereka
tidak menghidupkan mesin sepeda motor.
“Mereka nuntun sepeda sampai keluar dari dusun baru
dihidupkan mesinnya,” kata Sudana.
Sumber : Kompas.com
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul: Tiga Pemuda Dusun Patoman Tengah " Bali" Kecil Kabupaten Banyuwangi Membuat Ogoh - Ogoh
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai Tiga Pemuda Dusun Patoman Tengah " Bali" Kecil Kabupaten Banyuwangi Membuat Ogoh - Ogoh bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
Judul: Tiga Pemuda Dusun Patoman Tengah " Bali" Kecil Kabupaten Banyuwangi Membuat Ogoh - Ogoh
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Semoga informasi mengenai Tiga Pemuda Dusun Patoman Tengah " Bali" Kecil Kabupaten Banyuwangi Membuat Ogoh - Ogoh bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.